Terwujudnya
kebahagiaan rumahtangga adalah dambaan setiap pasangan suami-istri.
Sayangnya, tidak semua pasangan suami-istri berusaha semaksimal mungkin untuk
merengkuhnya.
Menurut
Syaikh Fuad Shalih (2006), penyebab utama ketidakharmonisan atau kegagalan
berumahtangga adalah karena sejak awal, pasangan suami-istri tidak menetapkan
konsep tentang kebahagiaan rumahtangga, tidak menetapkan sarana yang
dapat mengantarkan mereka ke tujuan tersebut, serta tidak mengerahkan seluruh
daya untuk mencapainya. Padahal menurutnya, kebahagiaan rumahtangga
laksana tanaman yang berbuah, ia tumbuh setelah ditanam, disiram, dan
dirawat. Kebahagiaan rumahtangga bukanlah berkat tiadanya perselisihan
antara suami-istri, melainkan karena keberhasilan mengatasinya. Kebahagiaan
rumahtangga bersumber pada perlakuan yang baik di antara suami-istri.
Seiring dengan itu, hal yang sangat mendasar untuk diketahui
suami-istri adalah bersikap realistis dalam memahami karakteristik kehidupan
berumahtangga. Karakteristik tersebut adalah tiadanya kesempurnaan antara
sifat atau watak suami di mata istri, dan sifat atau watak istri di mata
suami. Oleh sebab itulah keduanya tidak boleh berharap berlebihan mengenai
terwujudnya suatu gambaran keharmonisan hidup berumahtangga secara sempurna.
Kebahagiaan
berumahtangga yang ditandai keharmonisan dan kemesraan hubungan suami-istri
bukanlah bertumpu pada sesuatu yang mustahil. Sangat mungkin suami-istri akan
hidup penuh dengan cinta, jika setiap dari mereka mengetahui apa yang
disenangi dan apa yang tidak disenangi oleh pasangannya.
Dalam
pengamatan Aisyah Ahmad Musa Al-Abdali (2008), masalah yang terjadi antara
suami-istri umumnya dikarenakan adanya perbedaan di antara keduanya, tidak
adanya perhatian di antara mereka, serta tidak melihat suatu permasalahan
secara bijak. Inilah biang masalah yang dapat mengancam perjalanan biduk
rumahtangga. Islam telah mengajarkan bagaimana semua persoalan tersebut harus
disikapi atau diatasi.
Pasangan suami-istri yang mempunyai keberagamaan yang baik,
membuat satu sama lain merasa lebih tenteram. Mereka saling mengasihi,
menghormati, saling percaya untuk menjaga rahasia dan nama baik diri sendiri
dan keluarga, merawat dan mendidik anak, menjaga harta, serta menjalin
hubungan baik dengan orangtua/mertua dan saudara kandung/ipar.
Sebaliknya, membangun rumahtangga yang cuma mengandalkan fisik
(tetampanan atau kecantikan), materi, atau ukuran keduniawian lain merupakan
rumahtangga yang dibangun di atas fondasi yang rapuh, labil, karena mengikuti
keinginan nafsu destruktif. Cepat atau lambat, kebahagiaan semacam itu akan
memudar, bahkan hilang sama sekali karena disandarkan pada sesuatu yang fana.
Ingatlah, hawa nafsu selalu mendorong manusia dalam ketidakpuasan dan
ketidakpastian.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar